Mrs. Lisa Tirto Utomo and Rumah Gadang Sumpur

IBU LISA DAN RUMAH GADANG SUMPUR

10964040_605305259601015_719890529_n

IMG-20150131-WA0000

Di tepi Danau Singkarak, ada sebuah nagari dengan rumah-rumah gadang dan pohon-pohon sawo. Itulah Nagari Sumpur yang sudah beberapa kali dikunjungi Ibu Lisa Tirto Utomo. Apa istimewanya nagari ini, dan siapa saja yang datang ke sana?

Nagari Sumpur adalah desa adat seluas 7,3 km persegi, dengan penghuni 2,200 jiwa. Ibu Lisa adalah seorang filantropis, pencinta rumah-rumah adat di Nusantara. Pada bulan Mei, 2013, terjadi kebakaran di nagari yang indah dan subur itu. Lima dari 68 rumah gadang hangus dimakan api.

Inilah yang menyebabkan para pencinta arsitektur dan tradisi datang ke Sumpur. Mereka menikmati buah sawo yang segar dan manis. Lebih dari itu, secara gotong royong mereka kembali membangun rumah gadang yang terbakar. Dua rumah yang telah berdiri adalah rumah Etek Nuraini dan rumah Etek Siti Fatimah.

Pemimpin pembangunan kembali ini adalah Dr. Eko Alvares, wakil rektor Universitas Bung Hatta, di Padang. Dia bukanlah kontraktor yang membangun rumah secara borongan. Rumah gadang didirikan melalui proses yang unik, yaitu gotong-royong bersama para warga. Bukan hanya warga nagari yang tinggal di sana, tapi juga para semenda, perantau dan simpatisan.

Salah satu semenda, samando atau menantu yang adalah Dommy. Pria yang menikahi gadis Sumpur ini memimpin Gerakan Sumpur Memanggil, mengumpulkan bantuan dari berbagai penjuru. Bersama arsitek terkemuka, Yori Antar, para simpatisan dan pendukung arsitektur Nusantara ini menegakkan kembali rumah gadang yang terbakar.

Ibu Lisa Tirto Utomo dengan senang hati ikut menyumbang. Ia selalu bersemangat kalau ada upaya memakmurkan daerah dan melestarikan kekayaan budaya. “Saya hanya ikut mengawali. Kegiatan selanjutnya harus diteruskan oleh para warga setempat dan semua pencitanya.” Begitu pesannya.

Sebelum ikut membangun kembali Rumah Gadang Sumpur, Ibu Lisa sudah aktif membantu pelestarian rumah-rumah adat. Ada rumah panjang di Sintang, Kalimantan Barat. Ada rumah niang di Wae Rebo, Flores. Rumah budaya di Pulau Nias, Pulau Sumba, Rumah Karo di Sumatera utara dan bangunan tradisional di Sulawesi.

Jaman terus berubah. Rumah-rumah besar yang dibangun nenek-moyang, ternyata bisa membebani anak-cucunya. Jadi, untuk merawat dan memeliharanya, perlu banyak dukungan. Contohnya, adalah lima rumah gadang yang terbakar di Nagari Sumpur itu.

Prosesi untuk membangun kembali didukung berbagai lapisan masyarakat. Ketika tiang utama rumah gadang didirikan, bupati dan gubernur pun datang merestui. Sebelumnya ada pertemuan para pemangku adat, ninik-mamak dan para datuk. Sampai 18 kali mereka bermusyawarah untuk memastikan agar tahap demi tahap berjalan baik. Pantun bersahut-sahutan, kitab hukum adat pun dibaca kembali.

Untuk mendapatkan pohon besar yang akan menjadi tiang utama pun diadakan upacara tersendiri. Pohon besar itu disebut kayu Joa – semacam johar yang sangat kuat. Pada saat masih basah bisa ditebang dan diukir. Setelah kering, kerasnya seperti besi. Kuat sekali. Itulah pohon tua yang tumbuh di tepi Danau Singkarak juga.

Upacara menebang pohon dan memasang tiang utama memerlukan dua hari. Musik dan tari-tarian tradisional pun bergelora sampai malam. Para warga nagari berpakain terbagus, dengan sulaman emas dan ikat kepala. Para datuk, bundo kanduang, ninik-mamak ikut memeriahkan suasana.

Ibu Lisa Tirto Utomo tampak bahagia di antara mereka. Dengan tetap tersenyum, ia mengikuti semua acara dari pagi sampai malam. Padahal, usianya sudah menjelang 81 tahun. Ibu Lisa disertai rombongan Tirto Utomo Foundation yang dipimpinnya. Para anggota rombongan inilah yang ikut menikmati bermacam acara. Ada yang suka wisata kuliner, belanja kain tenun, sampai memberi makan ikan di perairan lepas.

“Yang paling penting, tentu bagaimana kelanjutan merawat dan mempertahankan rumah-rumah adat yang telah tegak kembali,” katanya. “Di Sintang, generasi muda kembali belajar menenun. Di Flores dan Sumba, mereka mengembangkan ekowisata.”

Rumah-rumah gadang di Nagari Sumpur pun perlu dikelola menjadi homestay. Bermacam acara tradisional bisa digelar. Ikan bilih – khas Danau Singkarak juga dapat ditawarkan sebagai hidangan. Buah-buah, terutama sawo dan durian pun mengundang minat datang ke Sumpur. Termasuk mencoba kostum tradisional, berfoto selfie bersama para pesilat dan penari, para datuk dan bundo kanduang.

Rumah gadang adalah tempat berkembang dan etalase kebudayaan. Rumah Gadang Sumpur di Kecamatan Batipuh Selatan, adalah ikon wisata Kabupaten Tanah Datar. Kawasan ini termasuk satu di antara tujuh kabupaten terbagus di Indonesia.

Pantaslah kalau didatangi banyak tokoh nasional maupun internasional. Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno bersama bupati Tanah Datar, M. Shadiq Pasadigoe juga sangat membanggakan. Bersama ketua forum kampuangnya Ibu Kamrita dan para wali nagari yang subur dan ramah itu, mereka menunggu kita semua.

“Ibu Lisa Tirto Utomo dan keluarganya sudah beberapa kali berkunjung ke sini. Sewajarnya kalau kita juga menengok dan mencintai Nagari Sumpur,” kata budayawan Eka Budianta.

Di antara yang hadir pada saat Rumah Gadang Sumpur diresmikan kembali adalah Dewan Pimpinan Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI), Ibu Catrini Pratihari Kubontubuh; art director terkenal Jay Subiakto; penggiat pelestarian Heri Akhmadi dan Ibu Retti Laksamana Sukardi yang juga itu menyumbang. ***

Eka Budianta

One thought on “Mrs. Lisa Tirto Utomo and Rumah Gadang Sumpur”

  1. Indonesia adalah bangsa yang pandai membangun rumahnya.
    Semoga juga pandai meneruskan dan bahagia menempatinya.

Leave Your Comment:

Your email address will not be published. Required fields are marked *